Seremoni Burung Gereja oleh BOBBY PRIAMBODO

Prakata : Cerpen kiriman dari Bobby Priambodo lumayan bagus. Hanya saja tidak ada konflik. Sebuah kisah penantian yang sia-sia tapi tak ada penjelasan kemana wanita yang ditunggu sang pria. Tapi dari sisi pemilihan kata dan alur sudah bagus.

Jam di menara kecil itu menunjukkan pukul sembilan. Masih tersisa dua jam tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Waktu yang lama, memang, tapi aku pikir ini sudah sepantasnya. Kursi taman yang kududuki ini pun terasa nyaman, sehingga tidak akan menjadi masalah yang berarti. Kursi ini tampaknya terbuat dari kayu jati yang kokoh, tak tergoyahkan. Akankah tekadku bersifat serupa?

Aku melihat sekeliling.
Taman ini sungguh sepi. Sunyi, hanya terlihat seorang pedagang roti yang mengayuh sepeda yang tersambung pada gerobak rotinya, bersimbah keringat. Padahal hari itu tidak terlalu panas. Saat hendak melewatiku, tukang roti itu tersenyum padaku. Senyum yang memberi semangat. Entah senyum apa itu.

Mataku tertuju kembali pada menara jam tadi. Masih dua jam lima belas menit lagi waktu yang ada. Waktu terasa berjalan begitu lama. Semenit bagaikan dua puluh tahun; tahun-tahun yang menyedihkan. Berapa kali sudah waktu berhasil membohongiku, memperdayaiku? Ratusan, ribuan kali bahkan.

Seperti pada malam itu. Malam dimana ia bilang ia akan membawaku ke teater tempat dipentaskannya drama oleh temanku. Tetapi malam itu ia tak datang.

Sepele? Mungkin. Rasakan hal itu dan lihat apa kata sepele masih bisa keluar. Setelah merasakan penyesalan itu. Setelah merasakan kekecewaan itu. Bukan, sepele bukanlah kata yang tepat. Terutama setelah melihat api meredup dimatanya; perubahan yang menandakan tenggelamnya perahu kepercayaan. Menara menunjukkan tinggal dua jam lagi.

Seekor burung gereja hinggap di lenganku. Paruhnya mematuk-matuk kaus tangan berwarna belang hitam-putihku yang aku kenakan di kedua belah tangan, melahap rempah-rempah kue yang tampaknya terselip di sela bulu-bulunya ketika aku makan kue itu pagi tadi. Aku hanya menatapnya diam, berusaha tak menggerakkan lenganku yang mungkin akan membuatnya takut dan terbang. Aku tak ingin ia pergi. Burung itu masih mematuki kaus tanganku. Ya, kaus tangan ini. Kaus tangan berwarna belang yang dulu kau berikan ini terasa begitu hangat di tanganku. Kaus tangan yang kau bilang dulu kau beli dari honor menyanyimu yang pertama ini telah aku rawat dengan baik, dan kini aku pakai lagi demi pertemuan penting ini—atau, setidaknya menurutku. Aku tak tahu apa kata itu berarti sesuatu untukmu.

Aku bangkit dari kursi taman itu dan berjalan mengelilinginya, sekadar melemaskan kaki. Udara belahan bumi yang menjelang siang itu sangat menyegarkan—dan disaat bersamaan, menyakitkan. Tubuhku gemetar. Aku kembali duduk.

Tak lama, seorang gadis kecil menghampiriku. Ia menawarkan permennya padaku. Aku menatapnya sejenak dan berkata, “Helen?”
Gadis itu berkata ia tak kenal orang yang aku sebut.

Aku menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin aku bisa keliru? Ia tentu saja bukan Helen. Helen telah lama pergi, tak mungkin tiba-tiba ia muncul begitu saja di sini, di taman yang mungkin belum pernah ia injak sama sekali. Aku merasakan jantungku berdegup. Kepergian ke Ohio itu terasa sudah lama sekali. Ya, sangat lama.

“Kakak?”

Aku menengok. Gadis itu menjulurkan tangannya yang menggenggam sebuah permen berwarna kuning-lemon kepadaku. Aku tersenyum dan menerimanya. Gadis itu tertawa dan mengambil tempat di kursi taman itu untuk duduk, tepat di sebelahku. Ia mulai bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Dimana ia tinggal, tentang kedua orang tuanya, tentang sekolahnya, teman-temannya. Aku mendengarkan tanpa sedikitpun berniat untuk memotong pembicaraannya. Ia terus bercerita selama hampir setengah jam. Tanpa merasa lelah, dan wajahnya selalu memancarkan sinar penuh keceriaan dan harapan. Waktu di menara jam di tengah taman itu menunjukkan pukul sepuluh ketika aku sadar bahwa aku rindu Helen. Ya, gadis kecil yang lahir dari rahim sama denganku, yang juga telah merasakan pahitnya hidup ketika kami masih bersama dulu. Bagaimana kabarnya ya, sekarang? Apakah ia sudah tumbuh menjadi gadis dewasa? Apakah ia telah menemukan pasangan hidupnya? Aku ingat beberapa bulan yang lalu Helen pernah mengirimkan sebuah surat kepadaku. Surat yang hanya mencantumkan tulisan tentangnya yang telah lulus sekolah menengah. Hampir enam tahun ia pergi dan kabar yang kudengar darinya hanya sekali itu. Aku tidak pernah sempat membalas surat itu.

“Kakak sedang menunggu seseorang?”
Lagi-lagi, kata-kata gadis di sampingku ini menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk.

“Siapa?”

Aku terdiam. Ya. Siapa yang aku tunggu? Apakah aku mengenalnya? Mungkin aku mengenalnya, dulu, tapi tampaknya semua itu hanya mimpi, hanya khayalan yang biasa mengisi pikiran di siang hari. Aku menghembuskan nafas panjang; gadis kecil itu menatapku ketakutan, takut telah mengatakan sesuatu yang menyinggungku. Aku tersenyum untuk menenangkannya. Tak lama kemudian ia sudah tersenyum kembali.

Selanjutnya kami hanya duduk diam. Aku, pria berusia dua puluh tiga, celana jeans, dan kaus tangan hitam-putih, bersama dengan gadis kecil yang duduk mengayun-ayunkan kakinya. Hal yang tidak wajar sebetulnya, karena seharusnya aku berada bersama orang-orang seumuranku dan ia dengan anak-anak lainnya. Tapi tampaknya persamaan telah mempersatukan kami berdua.

Beberapa menit kemudian, pedagang roti yang tadi datang lagi, dan gadis itu menghampirinya untuk membeli roti. Pedagang itu juga menawarkan rotinya kepadaku, tapi aku hanya menggeleng. Aku sedang tidak bernafsu untuk mengisi perutku.

Pedagang itu kemudian mengayuh sepedanya pergi. Ingatanku kembali kepada dirimu. Ya, aku ingat sekarang. Kau adalah perempuan cantik, ya. Kau adalah orang yang pernah mengisi hidupku. Aku teringat lagi saat kita berada di café. Dua anak muda, diselimuti cinta, duduk berseberangan di café sambil meminum kopi cokelat dingin, mengobrol tentang hidup. Obrolan yang terasa begitu nyata, begitu menyenangkan, begitu… hidup.

Gadis kecil di sebelahku memotong kecil-kecil rotinya dan menaburkannya di tanah. Tujuannya menjadi jelas tak lama setelahnya; burung-burung gereja turun dan menikmati pemberian dari gadis baik hati itu.

Waktu itu, kau bertanya padaku apa pandanganku terhadap masa depan. Aku berkata masa depan adalah tujuan, obyektif—target yang harus kita penuhi. Kemudian aku balik menanyakan pertanyaan yang sama. Kau bilang, waktu itu, masa depan bagimu adalah kebahagiaan. Jawaban yang membuat kita berdua sama-sama terpuaskan.

Gadis itu bersenandung sambil memperhatikan hasil perbuatannya tadi. Ketika potongan-potongan roti yang ada di tanah sudah hampir habis, ia memotong-motong rotinya lagi dan kali ini menaruhnya di telapaknya. Ia menaruh telapak tangannya dekat dengan tanah sehingga memungkinkan burung-burung mungil itu untuk melahapnya. Gadis itu tertawa gembira ketika burung-burung gereja itu mulai mematuk-matuk tangannya. Sungguh pemandangan yang indah.

Aku menoleh ke arah menara jam di pusat taman. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dan kau masih belum ada di sini. Aku menatap jam itu satu kali, dua kali, hingga ketiga kalinya untuk memastikan bahwa waktunya benar. Dan ternyata memang ya. Tapi kau tidak ada di sini. Apakah waktu membohongi aku lagi? Apa waktu membohongimu lagi? Apa kau membohongiku lagi?

Aku terhempas kembali ke kursi taman. Waktu sekarang berlalu semakin cepat, seakan Tuhan telah menurunkan tangan-Nya untuk mempercepat laju waktu yang pada kenyataannya sudah sangat sedikit ini. Sepuluh menit berlalu. Tiga puluh menit. Satu jam. Tiga jam. Roti di tangan gadis kecil di sebelahku sudah habis, dan burung-burung gereja itu beterbangan meninggalkan kami berdua di kursi taman kayu yang panjang ini.

Ya. Tampaknya kau dan waktu bekerja sama untuk memperdayaiku. Dan aku lemah. Aku terperdaya. Aku sakit. Aku teringat kembali kenangan-kenangan yang dulu pernah kau berikan kepadaku, yang sekarang menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah semua itu nyata?

Lagi-lagi, kekecewaan. Seperti yang sudah-sudah. Tapi sejujurnya, aku tak heran. Mengapa? Karena aku tahu kau akan melupakan aku. Aku tahu kau akan meninggalkan aku bersama dengan segala kata-katamu tentang masa depan itu. Tapi kenapa, walaupun aku tahu semua itu, aku masih menunggumu? Kenapa, setelah semua itu, aku rela datang dua jam lebih awal untuk menantimu? Saat ini, aku tak punya jawabnya.

Sekarang tinggal ada aku, sang penunggu lemah yang terperdaya, duduk di taman bersama seorang gadis yang cerianya seolah-olah tak akan pernah bisa terhapus. Seandainya hidupku seindah kehidupannya. Tapi takdir membawaku ke sini, dan aku tak bisa melakukan apapun kecuali menjadi kuat dan menjalaninya.

Sudah lima jam berlalu dari waktu yang kau janjikan. Gadis itu meminta izin padaku untuk pulang. Aku mengucapkan terima kasih, yang dibalasnya dengan sebuah kecupan di pipiku dan ucapan jangan menyerah yang ia bisikkan di telingaku. Ia kemudian berlari meninggalkanku, membiarkan rambut panjangnya terlempar kesana-kemari selama ia menjauh. Hatiku sedih.

Saat itu, aku memutuskan akan menyusul Helen ke Ohio. Dan saat itu, aku bangkit dari kursi taman itu. Tak pernah kembali lagi.

6 Comments »

  1. 1
    a-chen Says:

    waaaah, ini juga ganti templet….. selamat ya… 🙂

  2. 2
    a-chen Says:

    mbak…. prakatanya malah bikin nggak penasaran… hehehehhe, setuju ajah wes ama mbak… 🙂

  3. 3
    Blogger puisi Says:

    Salam kenal dan takzim saya buat sang cerpenis,moga terus berkarya menghasilkan cerpen2 yg menghibur.

  4. 4
    si jelek Says:

    FREEHSSS

  5. 5
    Alrezamittariq Says:

    aku follow ya sobat?

  6. 6
    Sang Cerpenis bercerita Says:

    @alreza : tks ya.


RSS Feed for this entry

Tinggalkan komentar